Saturday, December 24, 2011

REFLEKSI III

PERLINDUNGAN HAM DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA
Topik   : Memahami Hak Asasi Manusia

Hak Asasi Manusia dipahami banyak orang secara keliru. Hak Asasi Manusia itu hanya diartikan secara sempit sebagai kebebasan. Padahal, Hak Asasi Manusia atau yang sering disebut juga sebagai Human Right lebih luas daripada kebebasan karena kebebasan  hanyalah sebagian dari Hak Asasi Manusia. Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugrah Tuhan yang harus dihormati, dijaga, dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat atau bangsa (Yasni, 2010: 244). Hak itu dimiliki manusia tanpa adanya perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama, atau jenis kelamin dan bersifat asasi serta universal. Hak Asasi Manusia berkaitan dengan nilai dasar manusia dan menyentuh sendi-sendi kemanusiaan. Tanpa HAM maka harkat dan martabat sebagai manusia akan hilang manakala HAM itu dicabut oleh pihak lain. Bagi bangsa Indonesia HAM bukan hanya universal yaitu berupa hak-hak dasar yang dibawa manusia sejak lahir semata, melainkan disesuaikan dengan kebudayaan dan yuridis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Setiap manusia dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam semangat persaudaraan. Oleh sebab itu, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang  sama, adil tanpa diskriminasi.
Seperti yang kita tahu, di Indonesia masih banyak terjadi pelanggaran HAM dan bahkan masih ada kasus-kasus HAM tertentu yang belum terselesaikan. Ini membuktikan bahwa reformasi dibidang hukum khususnya pelanggaran HAM masih belum dapat tercapai sehingga HAM hanya menjadi simbol belaka untuk masyarakat Indonesia. Keadaan HAM di Indonesia sangat buruk pada masa orde baru. Presiden soeharto mengekang kebebasan manusia untuk berpendapat, berekpresi dan berserikat. Hal ini dilakukan oleh Soeharto untuk mempertahankan kekuasaannya yang bersifat otoriter dan militeristik. Setelah Soeharto lengser dari jabatannya, dimulailah babak baru untuk menegakkan HAM di Indonesia yaitu era reformasi. Tetapi seperti yang kita lihat sekarang masih banyak pelanggaran HAM yang terjadi, ini menyebabkan timbulnya pertanyaan dibenak kita, “apa yang sebenarnya dilakukan oleh pemerintah selama ini untuk menjaga HAM sebagai harkat dan martabat masyarakat Indonesia?”.  Implementasi Hak Asasi Manusia di Indonesia dapat kita rasakan sendiri, walaupun banyak aturan-aturan perundang-undangan, hukum, ataupun lembaga-lembaga yang mengurus tentang HAM, dan lain-lain yang fundamentalis yang dibuat terkait dengan penegakkan dan perlindungan HAM di Indonesia, tetap saja masih banyak pelecehan dan kekerasan yang melanggar HAM terutama bagi masyarakat sipil menengah kebawah. Ketika mereka mendapatkan ketidakadilan, penindasan dan diskriminasi, mereka sama sekali tidak menerima persamaan HAM dimata hukum atau tidak adanya supermasi hukum. Padahal hukum itu terletak diatas segala-galanya dan berlaku untuk semua pihak tanpa pandang bulu yaitu setiap masyarakat Indonesia harus menerima hukum yang sama tanpa membeda-bedakan status sosial, latar belakang, ataupun yang lain.
Kasus pelanggaran HAM yang sedang marak diperbincangkan sekarang ini yaitu nasib TKI yang bekerja di luar negeri khususnya di Malaysia dan Arab Saudi. Indonesia merupakan negara pengirim TKI keluar negeri terbesar dan mampu mengahasilkan devisa bagi negara lebih dari 20 triliun rupiah (Rahman, 2011: xii). Berdasarkan data tersebut, dapat kita lihat bahwa mereka adalah pahlawan devisa bagi negara, sebagian hasil keringatnya telah dinikmati oleh negara (pemerintah), namun nasibnya sangat tidak terjamin dan dalam keadaan sangat memprihatinkan. TKI tidak dihormati sebagai manusia dengan segala harkat dan martabatnya tapi lebih diposisikan sebagai ekspor komoditas. Mereka mengalami penyiksaan, pemerkosaan, bahkan ada PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia) tertentu yang melakukan kebohongan untuk mengirim mereka ke luar negeri tetapi ternyata TKI tersebut dijual untuk keuntungan mereka sendiri (Human Traffiking). Bahkan sekarang ini untuk pemulangan TKI yang bermasalah ke Indonesia saja masih dipersulit, terutama pada bus pemulangannya. Masih ada oknum-oknum sopir tertentu yang memungut biaya untuk ongkos bus, padahal Badan Nasional Penanggulangan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) telah menyiapakan bus pemulangan TKI tersebut dan telah dibiayai oleh pemerintah.
Contoh kasus penyiksaan TKI di luar negeri yang sudah cukup lama terjadi yaitu Siti Hajar. Seorang TKW yang berasal dari Garut ini mengalami penyiksaan di Negara Jiran Malaysia. Ia mengalami kerugian materiil maupun inmateriil yang menyebakan fisik dan psikologinya terganggu. Siti hajar mengalami penyiksaan dari majikannya selam 34 bulan dan tidak menerima gaji selama ia bekerja di tempat tersebut. Karena tidak tahan dengan perlakuan majikannya , Siti Hajar melarikan diri dan berhasil bebas dari rumah majikannya yang keturunan china tersebut. Dalam kasus ini, seharusnya menyadarkan seluruh pihak yang terakait dalam perlindungan TKI yang telah tercantum dalam UU No.39 tahun 2004 dan tidak hanya fokus pada penempatan TKI dan pemberangkatannya.
Menurut saya para TKI yang dianggap sebagai ekspor komoditas, sangat luar biasa memilukan karena mereka adalah manusia sekaligus masyarakat Indonesia yang seharusnya menurut Undang-Undang Dasar dipelihara oleh negara, justru dijadikan kendaraan komersial semata. Tidak dapat dipungkiri, dengan skill atau ketermpilan bahasa inggris yang tidak memadai kemudian kapabilitas kerja rendah mereka akan sulit beradaptasi di luar negeri yang akhirnya akan berujung pada tindakan anarkis yang mereka peroleh dari masing-masing majikan terkait bahkan tidak jarang menimbulkan korban jiwa. Undang-Undang Nomor 39 tahun 2004 yang mengatur tentang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri, dari 109 pasal yang ada hanya ada 8 pasal yang mengenai perlindungan (Rahman, 2011: 148). Jika dilihat dari pasal-pasal yang terkandung dalam UU No.39 tahun 2004, pemerintah lebih menekankan pengaturan tempat TKI bekerja dibandingkan dengan perlindungan  yang harus diberikan kepada TKI padahal pada saat sekarang ini banyak TKI yang mengalami penyiksaan dan harus dilindungi harkat dan martabatnya sebagai masyarakat Indonesia. Pemerintah harusnya sadar dengan hal ini dan dapat mengamandemen Undang-Undang tersebut jika memang tidak sesuai dengan yang seharusnya kita butuhkan.
Sebagai mahasiswa cara yang  bisa dilakukan untuk menegakkan Hak Asasi Manusia  di Indonesia adalah tentunya dengan tidak melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia seperti dengan tidak menindas hak-hak pihak lain, dengan tidak melakukan demonstrasi anarkis yang merusak fasilitas umum atau  melukai masyarakat sipil lainnya, dengan tidak melakukan tawuran atau memperluas konflik atau benturan antar mahasiswa sebagai bentuk penghargaan, perlindungan, dan penegakkan HAM itu sendiri. Mengenai masalah penyiksaan TKI di luar negeri, hal ini sebenarnya sudah memasuki wewenang HAM Internasional, karena sudah menyangkut penindasan pada banyak TKI yang bekerja di luar negeri. Cukup dengan mengembalikan mereka ke negara Indonesia, mengobatinya, dan membicarakan secara diplomatis tentang pelanggaran HAM tersebut dengan negara-negara terkait dan menyeleksi tiap-tiap lembaga pengiriman TKI. Masalah ini merupakan pelanggaran HAM Internasional sehingga untuk menyelesaikannya sebaiknya melalui pengadilan Internasional agar mendapat keadilan hukum dan seharusnya pemerintah mendampingi TKI dalam persidangan tidak hanya fokus pada pemulangannya saja.




REFERENSI
Rahman, Fathor. (2011). MENGHAKIMI TKI. Jakarta. Pensil-324.
Yasni, Sedarnawati. (2010). CITIZENSHIP. Bogor. Media Aksara.